Thursday, June 28, 2007

Fatimah Azzahra ra.: Pemimpin wanita Syurga

Lahirnya Fatimah Azzahra ra. merupakan anugerah terindah yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw., ia laksana benih yang akan menumbuhkan pohon besar penerus keturunan Rasulullah. Ia dilahirkan di Mekah ketika orang-orang Qura’isy memperbaharui bangunan ka’bah, tepatnya pada hari Jum’at tanggal 20 Jumadil Akhir 5 tahun sebelum Muhammad Saw. diutus menjadi Rasul.
Fatimah Azzahra ra. tumbuh dibawah naungan wahyu ilahi, ditengah kancah pertarungan sengit antara islam dan jahiliyah, dikala sedang gencar-gencarnya perjuangan perintis iman melawan penyembah berhala. Ia berkembang di rumah yang paling bersih dan mulia di dunia ini yaitu rumah Rasulullah Saw. yang telah diliputi dengan cahaya keimanan dan berkah. Ibu Fatimah ra., Khadijah r.a., sangat sayang dan cinta kepadanya, maka ketika masih bayi ia tidak disusui oleh orang lain –sebagaimana adat bangsa Arab waktu itu- tapi Khadijah ra. sendiri yang langsung menyusui dan menyapinya. Dari kesejukan ibu yang penuh cinta kasih inilah, Azzahra ra. memiliki sifat-sifat terpuji seperti murah hati, pemalu, berjiwa kesatria, iffah, hikmah, etika dan akhlak.
Fatimah Azzahra ra. dibesarkan dibawah bimbingan orang yang paling bertakwa kepada Allah, Rasulullah Saw. Diantara shalawat dan tasbih yang senantiasa membasahi lisan orang tuanya, inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan kepribadiannya diantara wanita-wanita ahli bait. Dalam bimbingan kedua orangtuanya, Azzahra ra. memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia, ia belajar dari orang tuanya apa yang tidak dipelajari gadis-gadis Mekkah dan sekitarnya pada umumnya, ia belajar al-Quran dan mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah Saw. Dalam buaian keimanan, ia tumbuh dengan kesungguhan hati dan iktikaf, memiliki ketenangan jiwa, ketulusan hati dan pintar menjaga rahasia.
Dalam keadaan masih kanak-kanak Fatimah Azzahra ra. sudah harus mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Ia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita di dalam Syi'ib, akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim. Setelah bebas dari penderitaan jasmani selama di Syi'ib, datang pula pukulan batin atas diri Fatimah Azzahra ra., berupa wafatnya bunda tercinta, Khadijah ra. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu. Setelah meninggal Khadijah ra., Fatimah ra. menggantikan posisi ibunya, ia mengatur semua kebutuhan rumah tangga Rasulullah, menjaga ayahnya sehingga semakin bertambah kasih sayang dan kecintaannya kepada ayahnya, sampai para sahabat memanggilnya dengan sebutan ummunnaby (ibu nabi) atau ummu abiiha (ibu bapaknya)

Putri Kesayangan
Rasulullah Saw. sangat gembira dengan kelahiran Fatimah Azzahra ra. Dan beliau yakin suatu saat ia akan menjadi fatah mubarakah (wanita yang penuh berkah). Rasulullah sangat mencintai putrinya. Ia merupakan putri bungsu yang paling disayang dan dikasihani oleh Rasulullah Saw.
Demikian besar rasa cinta Rasulullah Saw kepada putri bungsunya itu dibuktikan dengan hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra. Bahwa rasulullah Saw. berkata kepada Ali ra: “Wahai Ali! Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dari aku. Dia adalah cahaya mata dan buah hatiku. Barangsiapa yang menyusahkannya, dia menyusahkan aku dan siapa yang menyenangkannya, dia menyenangkan aku."
Tentunya pernyataan beliau bukan sekedar emosi, karena Rasulullah Saw. tidak pernah berkata menurut hawa nafsunya, melainkan suatu penegasan kepada kaumnya, bahwa putri beliau itu merupakan lambang keagungan abadi yang ditinggalkan ditengah umatnya.

Keluarga Azzahra ra.
Sebelum terlalu jauh membahas Fatimah Azzahra ra. dan peranannya dalam dakwah islam, mari sejenak kita melihat keluarga beliau;
a. Ayahnya adalah pemimpin manusia pertama dan terakhir, diciptakan Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam, beliau adalah Muhammad Saw. Qudwatuna ila nihayatul hayaat!
b. Ibunya, Khadijah ra, adalah pemimpin wanita-wanita seluruh alam, wanita pertama yang mengimani kerasulan dan kebenaran ajaran yang dibawa Muhammad Saw., dan beliau yang didatangi jibril untuk menyampaikan salam dari tuhan-Nya dan beliau yang diberi kabar gembira tentang rumah kayu..........
c. Fatimah sendiri adalah pemimpin wanita-wanita dunia pada waktu itu.
d. Anaknya –Hasan dan Husain ra- adalah pemimpin pemuda ahli syurga dan kemangi Rasulullah Saw.
e. Suaminya adalah amirul mu’minin Ali bin Abi Thalib ra., yang mencintai Allah dan Rasul-Nya serta dicintai (pula) Allah dan Rasulnya, seseorang yang memiliki kedudukan di sisi Rasulullah sampai beliau berkata: "Kamu adalah bagian dari saya dan saya adalah bagian dari kamu" dan Rasulullah juga mengatakan: "Apakah kamu tidak rela kedudukanmu disisiku sama dengan kedudukan Harun disisi Musa tapi tidak ada nabi sesudahku"
f. Pamannya adalah pemimpin syuhada, "asadullah wa asadurrasul" Singa Allah dan Rasulnya, Hamzah bin Abdul Muththalib, beliau adalah paman Rasulullah dan saudara sesusuan beliau.

Pembelaan Fatimah ra. Terhadap Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw mengalami penderitaan dan penghinaan yang luar biasa di awal munculnya Islam, begitupun yang dialami oleh sahabat-sahabat beliau. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud bahwa Sesungguhnya Rasulullah Saw. shalat disamping ka'bah dan Abu Jahal bersama pengikutnya duduk disana, maka salah seorang berkata: "Siapa diantara kamu yang bisa membawa kotoran binatang kemudian menaruhnya di atas pundak Muhammad ketika sujud? Maka berdirilah Uqbah bin Abi Mu'aith kemudian membawa kotoran itu. Dia menunggu sampai Rasulullah Saw. sujud dan meletakkan kotoran itu di punggung beliau, sementara saya hanya bisa melihat dan tidak bisa berbuat apa-apa. Abdullah bin Mas'ud berkata (melanjutkan ceritanya): Mereka pun tertawa (dengan pemandangan tersebut) dan saling melihat satu sama lain (saling berpandangan), dan Rasulullah tetap sujud, tidak menganggkat kepalanya sampai datang putrinya, Fatimah ra., dan membersihkan punggungnya, barulah beliau mengangkat kepalanya sambil berdoa: " Ya Allah, binasakanlah Quraisy!"
Ketika terjadi pemboikotan terhadap umat Islam di mekah, sahabat-sahabat Rasulullah mengalami penderitaan yang luar biasa. Orang-orang Quraisy Mekah sepakat untuk tidak berjual beli dengan kaum muslimin dan tidak menikahkan atau menikahi mereka. Kemudian kesepakatan itu mereka tulis dalam shahifah (lembaran) dan mereka gantung di atas ka’bah untuk menguatkan kesepakatan tersebut.
Apabila salah seorang dari kaum muslimin pergi ke pasar untuk membeli makanan (bahan pokok) demi keluarganya, maka berdirilah Abu Lahab dan berseru: “Wahai para pedagang Quraisy! Jadikanlah barang-barang itu mahal untuk sahabat-sahabat Muhammad sampai tak satupun dari mereka yang mau membeli. Kalian telah mengetahui kedudukan dan hartaku, jangan takut rugi karena sayalah jaminannya.” Maka para pedagang itupun menaikkan harga barang-barang berlipat ganda sehingga tak satupun dari kaum muslimin yang membelinya, mereka pulang dengan tangan kosong, tak satupun yang bisa dimakan oleh keluarga dan anak-anak mereka.
Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun, apa yang terjadi dengan Fatimah ra.? Ia bersama kaum muslimin merasakan lapar dan dahaga, merasakan penderitaan yang berkepanjangan sampai pertolongan Allah datang. Begitupun yang terjadi di malam hijrah Rasulullah, peranan Fatimah ra. dan Ali ra. tak bisa dinafikan. Kalau tidak takut kepanjangan, saya akan tuliskan peristiwa hijrah Nabi Saw, dan tugas Ali menggantikan Rasulullah di tempat tidur serta tugas beliau memimpin rombongan hijrah keluarga Rasulullah secara terang-terang di siang hari

Ijab-Kabul Pernikahan
Fatimah Azzahra ra. mencapai puncak keremajaan dan kecantikannya pada saat risalah yang dibawakan Nabi Muhammad s.a.w. sudah maju dengan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yang menggantungkan harapan ingin mempersunting puteri Rasulullah Saw. itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu, Nabi Muhammad Saw. mengemukakan bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah Swt. mengenai puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq ra., Umar bin Khattab ra. dan Sa'ad bin Mu'adz bersama-sama Rasulullah Saw. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasulullah Saw. Saat itu beliau bertanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq ra.: "Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?"
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk menghubungi Imam Ali ra.. Sewaktu Imam Ali ra. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq ra. dengan tergopoh-gopoh dan terperanjat ia menyambutnya, kemudian bertanya: "Anda datang membawa berita apa?"
Setelah duduk beristirahat sejenak, Abu Bakar Ash Shiddiq ra. segera menjelaskan persoalannya: "Hai Ali, engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau adalah kerabat Rasulullah Saw. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau untuk dapat mempersunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya ditolak. Beliau mengemukakan, bahwa persoalan puterinya diserahkan kepada Allah Swt. Akan tetapi, hai Ali, apa sebab hingga sekarang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk dirimu sendiri? Kuharap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu untukmu."
Mendengar perkataan Abu Bakar ra., mata Imam Ali ra. berlinang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Imam Ali r.a. berkata: "Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang semulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karena aku tidak mempunyai apa-apa."
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yang memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali ra., Abu Bakar ra. berkata: "Hai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalah ibarat debu bertaburan belaka!"
Setelah berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar ra. berhasil mendorong keberanian Imam Ali ra. untuk melamar puteri Rasulullah Saw.
Beberapa waktu kemudian, Imam Ali ra. datang menghadap Rasulullah Saw. yang ketika itu sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salmah bertanya kepada Rasulullah Saw.: "Siapakah yang mengetuk pintu?" Rasul Allah s.a.w. menjawab: "Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!"
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah ra. Ia bertanya lagi: "Ya, tetapi siapakah dia itu?"
"Dia saudaraku, orang kesayanganku!" jawab Nabi Muhammad s.a.w.
Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali ra. kepada Nabi Muhammad Saw. itu: "Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku terantuk-antuk. Setelah pintu kubuka, ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasulullah Saw. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai maksud, tetapi malu hendak mengutarakannya.
Rasulullah Saw. mendahului berkata: "Hai Ali nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperoleh dariku!"
Mendengar kata-kata Rasulullah Saw. yang demikian itu, lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib untuk berkata: "Maafkanlah, ya Rasulullah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda, Abu Thalib dan bibi anda, Fatimah binti Asad, dikala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa.
Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasulullah, adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri anda, Fatimah ra.. Ya Rasulullah, apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dengan dia?"
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: "Saat itu kulihat wajah Rasulullah Saw. nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, apakah engkau mempunyai suatu bekal maskawin?''
"Demi Allah", jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, "Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."
"Tentang pedangmu itu," kata Rasulullah Saw. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib, "Engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu, aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira, sebab Allah 'Azza wajalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!" Demikian versi riwayat yang diceritakan Ummu Salmah ra.
Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh para sahabat, Rasulullah Saw. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: "Bahwasanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu."
"Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik", jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.

Rumah Tangga Sederhana
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar ra. untuk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Rasulullah Saw., Abu Bakar ra. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah untuk "biaya pesta" perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga: sehelai baju kasar perempuan, sehelai kudung, selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam, sebuah balai-balai, dua buah kasur, terbuat dari kain kasar Mesir (yang sebuah berisi ijuk kurma dan yang sebuah bulu kambing), empat buah bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir), kain tabir tipis terbuat dari bulu, sebuah tikar buatan Hijr, sebuah gilingan tepung, sebuah ember tembaga, kantong kulit tempat air minum, sebuah mangkuk susu, sebuah mangkuk air, sebuah wadah air untuk sesuci, sebuah kendi berwarna hijau, sebuah kuali tembikar, beberapa lembar kulit kambing, sehelai 'abayah (semacam jubah) dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dengan itu Imam Ali ra. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali ra. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Fatimah Azzahra ra.
Selama satu bulan sesudah pernikahan, Fatimah ra. masih tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali ra. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasulullah Saw. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim, Imam Ali ra. menghadap Rasulullah Saw. Lebih dulu mereka menemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad Saw. Kepada Ummu Aiman, Imam Ali ra. menyampaikan keinginannya.
Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah ra. guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali ra. Sesudah Ummu Salmah ra. mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain.
Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah ra., para isteri Nabi Muhammad Saw. berkumpul. Kemudian mereka bersama-sama menghadap Rasulullah Saw. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali ra.

Rencana Pernikahan Ali dengan Putri Abu Jahal
Pada suatu hari, Ali ra. melamar putri Abu Jahal untuk dijadikan istri, ketika Rasulullah Saw. mengetahui dari anaknya, Fatimah, Rasulullah Saw, sangat marah.
Dari Miswar bin Makhramah bahwa dia mendengar Rasulullah berkata di atas mimbar: “Sesungguhnya Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin kepada saya untuk menikahkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib, saya tidak akan mengizinkan mereka, saya tidak akan mengizinkan mereka, saya tidak akan mengizinkan mereka, kecuali Ali rela mentalak putriku dan menikahi putri mereka. Karena putriku (fatimah) adalah darah dagingku,.. (Hadis ini dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab keutamaan sahabat bab keutamaan Fatimah putri Rasulullah)
Dalam riwayat Muslim: “....Saya tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, tetapi demi Allah, tidak akan berkumpul (bertemu) putri Rasulullah dan putri musuh Allah dalam satu tempat selamanya”

Hadis ini sering dipakai sebagai dalil orang-orang yang anti poligami, padahal konteks pelarangan Rasulullah terhadap Ali berbeda. Rasulullah melarang Ali untuk menikah lagi karena yang ingin dinikahi adalah anak Abu Jahal, musuh Allah dan Rasulullah, bagaimana mungkin putri Rasulullah yang memiliki martabat dan kedudukan yang tinggi di mata Allah disandingkan dengan putri musuh Allah.

Imam Nawawi mengatakan: “Para ulama sepakat bahwa hadis ini menunjukkan larangan mencela (menghina) Nabi bagaimanapun bentuknya, walaupun sebenarnya penghinaan itu asalnya adalah mubah (dibolehkan) karena ada wahyu, berbeda dengan menghina orang lain, hukumnya tetap dilarang. Para ulama mengatakan bahwa Rasulullah Saw sudah tahu bolehnya menikahkan putri Abu Jahl dengan Ali dengan perkataan beliau “Saya tidak mengharamkan yang halal...” tetapi dia melarang mengumpulkan putrinya dengan putri Abu Jahl karena dua sebab, pertama, karena akan menyebabkan Fatimah sakit hati, maka hati Rasul pun akan sakit dan itu akan menjadi alasan orang-orang untuk menghina beliau, maka beliau melarangnya karena kecintaannya kepada Ali dan Fatimah. Kedua, ditakutkan terjadi fitnah terhadap Fatimah karena cemburu.

Kedudukan Fatimah di Mata Rasulullah
Untuk masalah ini, saya akan menyebutkan beberapa riwayat:
Dari Abi Said ra., Rasulullah Saw, berkata: “Tidaklah seseorang membenci ahlulbait kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam neraka” (HR. Hakim dalam mustadraknya, hadis-hadis shahih berdasarkan syarat Imam Bukhari dan Muslim tapi tidak dikeluarkan di kitab shahib mereka)
Dari Huzaifah ra. Rasulullah Saw. berkata: “Telah turun malaikat kepada saya dan memberi kabar gembira bahwa Fatimah adalah pemimpin para wanita syurga” (HR. Hakim)
Dari Tsauban berkata: Rasulullah Saw masuk kepada Fatimah dan saya bersamanya, dan di leher Fatimah ada rantai dari emas. Fatimah berkata: “Ini adalah hadiah untuk saya dari Abu Hasan (Ali bin Abi Thalib)”, maka Rasulullah berkata: “ Wahai Fatimah, apakah kamu gembira ketika manusia mengatakan: “Inilah Fatimah binti Muhammad Saw. dan di tangannya rantai dari neraka”. Kemudian Rasulullah keluar. Lalu Fatimah membeli budak dengan rantai itu dan memerdekakannya. Rasulullah Saw, berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fatimah dari api neraka” (HR. Thayalisi, Ahmad, Nasa’i, dibenarkan oleh Hakim, disepakati oleh Dzahaby, dan dibenarkan pula oleh Hafidz al Munziry dalam kitab Targib dan Tarhib)
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw bersabda: Wanita-wanita syurga yang paling mulia adlaah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad, Maryam dan Asiah” (HR. Ahmad dan Hakim)
Dari Usamah ra., Rasulullah Saw pernah ditanya:” Siapa yang paling kamu cintai?” Rasulullah Saw menjawab: “Fatimah”
Dari Buraidah ra. berkata: “Wanita yang paling dicintai Rasulullah adalah Fatimah dan Lelaki yang paling dicintai adalah Ali” (HR. Tirmidzi dan Hakim)
Dari Aisyah binti Thalhah dari Aisyah, ummul mu’minin, berkata: “Saya tidak pernah melihat orang yang paling mirip perkataan dan pembicaraan dengan Rasulullah dari Fatimah, apabila Fatimah masuk dalam majlis Rasulullah, beliau berdiri, kemudian menciumnya dan menyambut kedatanganya, demikian pula yang dilakukan Fatimah terhadap Rasulullah Saw.”

Putra-putri Azzahra ra.
Belum berlalu setahun dari pernikahan Fatimah dengan Ali, Allah menganugerahkan seorang anak kepada mereka. Maka lahirlah cucu Rasulullah yang pertama pada tahun ketiga Hijriah. Rasulullah Saw. sangat bergembira dengan kelahirannya dan diberi nama dengan Hasan.
Setelah Hasan berumur satu tahun, lahirlah setelah itu Husain pada bulan Sya’ban tahun keempat Hijriah. Kemudian pada tahun kelima hijriah, lahirlah seorang bayi perempuan dari rahim Azzahra dan diberi nama oleh kakeknya dengan Zainab. Dan setelah dua tahun, tepatnya tahun ketujuh Hijriah, lahirlah bayi perempuan yang diberi nama Ummu Kultsum.
Hasan ra. dan Husain ra. Mempunyai kedudukan tersendiri disisi Rasulullah Saw.. Dua orang cucunya itu beliau asuh sendiri. Beliau sangat mencintai keduanya. Putri beliau yang bernama Zainab ra. merupakan pahlawan wanita muslim yang sangat cemerlang dan menonjol sekali peranannya dalam pertempuran di Karbala membela Husein ra. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah menciptakan tragedi yang menimpa Husein ra. beserta segenap anggota keluarganya. Husein ra. gugur dan kepalanya diarak sebagai pameran keliling Kufah sampai ke Syam.

Detik-detik terakhir kehidupan Azzahra
Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lebih 10 tahun Fatimah ra. meninggal dunia dalam usia 28 tahun. Sepeninggal Fatimah ra., Imam Ali ra. beristerikan beberapa orang wanita lainnya lagi. Menurut catatan sejarah, hingga wafatnya Imam Ali ra. menikah sampai 9 kali. Tentu saja menurut ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam satu periode, tidak pernah lebih 4 orang isteri.

Oleh. Muhammad Fathi Nismara


Bahan Pustaka:
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib, karangan H. M. H. Al Hamid Al Husaini, Lembaga Penyelidik Islam, Jakarta, 1981
Shahâbiyyât haula ar Rasûl, karangan Mahmud Masri, Maktabah Shafa, 2005, Cairo


No comments: